• RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter

Rabu, 22 Juni 2011

Pengertian Dan Hukum Shalat Tahajjud


Shalat Tahajjud (Qiyaamul Lail) adalah shalat sunnah yang dilakukan seseorang
setelah ia bangun dari tidurnya di malam hari meskipun tidurnya hanya sebentar.
Sangat ditekankan apabila shalat ini dilakukan pada sepertiga malam yang
terakhir karena pada saat itulah waktu dikabulkannya do’a.

Hukum shalat Tahajjud adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan).
Shalat sunnah ini telah tetap berdasarkan dalil dari Al-Qur-an, Sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma’ kaum Muslimin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka
memohon ampun (kepada Allah)." [Adz-Dzaariyaat: 17-18]

Allah Ta’ala berfirman.

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada
Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari
rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan
pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."
[As-Sajdah: 16-17]

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.

"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada
(adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..." [Az-Zumar: 9]

Dan Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman.

"Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu...." [Al-Israa’: 79]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Shalat yang paling utama setelah shalat yang fardhu adalah shalat di waktu
tengah malam.” [1]

Keistimewaan Shalat Tahajjud
Shalat Tahajjud memiliki sekian banyak keutamaan dan keistimewaan sehingga
seorang penuntut ilmu sangat ditekankan untuk mengerjakannya. Di antara
keistimewaannya adalah.

[1]. Shalat Tahajjud adalah sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Sebaik-baik puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa di bulan Allah,
Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat yang fardhu adalah shalat
malam.” [2]

[2]. Shalat Tahajjud merupakan kemuliaan bagi seorang Mukmin.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Malaikat Jibril mendatangiku, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, hiduplah
sekehendakmu karena kamu akan mati, cintailah seseorang sekehendakmu karena
kamu akan berpisah dengannya, dan beramallah sekehendakmu karena kamu akan
diberi balasan, dan ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin itu ada pada
shalat malamnya dan tidak merasa butuh terhadap manusia.” [3]

[3]. Kebiasaan orang yang shalih.
[4]. Pendekatan diri kepada Allah Ta’ala.
[5]. Menjauhkan dosa.
[6]. Penghapus kesalahan.

Keempat keutamaan ini (poin 3-6) terangkum dalam sabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.

"Hendaklah kalian melakukan shalat malam karena ia adalah kebiasaan orang-orang
shalih sebelum kalian, ia sebagai amal taqarrub bagi kalian kepada Allah,
menjauhkan dosa, dan penghapus kesalahan.” [4]

[7]. Shalat malam adalah wasiat yang pertama kali Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam sampaikan kepada penduduk Madinah ketika beliau memasukinya.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan
shalatlah di malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian akan
masuk Surga dengan selamat.” [5]

[8]. Shalat malam sebagai sebab diangkatnya derajat seseorang. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ketika ditanya tentang tingkatan dalam
derajat.

"Memberi makan, ucapan yang santun, dan shalat di malam hari ketika orang lain
tidur.” [6]

[9]. Dapat menguatkan hafalan Al-Qur-an, membantu bangun untuk shalat Shubuh,
mencontoh generasi terdahulu, dan lainnya.

Shalat Tahajjud Rasulullah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan shalat
Tahajjud, baik ketika beliau sedang mukim maupun sedang safar. ‘Aisyah
radhiyaallahu ‘anha pernah berkata, “Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melakukan shalat (malam), beliau berdiri hingga telapak kakinya
merekah.” Lalu ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Kenapa engkau melakukan
semua ini. Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu
dan yang akan datang?” Lalu beliau menjawab.

“Wahai ‘Aisyah, apakah tidak layak aku menjadi hamba yang banyak bersyukur.” [7]

Shalat Tahajjud Para Salafush Shalih
Diriwayatkan dari Abu Qatadah (wafat th. 54 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu malam, tiba-tiba
beliau bertemu dengan Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu yang sedang mengerjakan
shalat dengan melirihkan suaranya.” Abu Qatadah berkata, “Kemudian beliau
bertemu dengan ‘Umar yang sedang mengerjakan shalat dengan mengeraskan
suaranya. “ Abu Qatadah berkata, “Tatkala keduanya berkumpul di sisi Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata kepada keduanya, ‘Wahai Abu
Bakar, aku telah melewatimu ketika engkau sedang shalat dan engkau melirihkan
suaramu.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya aku telah memperdengarkan kepada
Rabb yang aku bermunajat kepada-Nya, wahai Rasulullah.’” Abu Qatadah berkata,
“Kemudian beliau bertanya kepada ‘Umar, ‘Aku telah melewatimu, ketika itu
engkau sedang mengerjakan shalat dengan mengeraskan suaramu.’” Abu Qatadah
berkata, “Lalu ‘Umar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku telah membangunkan
orang-orang yang sedang tidur terlelap dan mengusir syaitan.’ Lalu Nabi
bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, keraskan suaramu sedikit.’ Dan berkata kepada
‘Umar, ‘Wahai ‘Umar, lirihkan suaramu sedikit."[8]

Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam (wafat th. 136 H) rahimahullaah bahwa ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhu melakukan shalat malam dalam waktu yang cukup lama hingga
di akhir malam beliau membangunkan keluarganya untuk melakukan shalat. Beliau
berkata, “Shalatlah kalian! Shalatlah kalian!” Kemudian beliau membaca ayat
berikut

"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu
dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi
rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.'
[Thaahaa: 132]” [9]

Diriwayatkan dari Ibnu Sirin rahimahullaah, ia berkata, “Isteri ‘Utsman berkata
ketika beliau terbunuh, ‘Sungguh kalian telah membunuhnya. Sesungguhnya ia itu
(‘Utsman bin ‘Affan, wafat th. 35 H) selalu menghidupkan malamnya dengan
Al-Qur-an (dalam shalat malam).’” [10]

Diriwayatkan bahwa Dhirar bin Dhamrah al-Kinani rahimahullaah menyifati ‘Ali
bin ‘Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu ketika ia dipanggil oleh Amirul Mukminin
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Beliau (‘Ali)
tidak merasa gembira dengan dunia dan gemerlapnya dan beliau merasa gembira
dengan malam dan kegelapannya. Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku
pernah melihatnya pada beberapa kesempatan ketika malam telah gelap dan bintang
telah tenggelam, beliau telah berdiri miring di tempat shalatnya sambil meraba
jenggotnya dan menangis seperti orang yang ditimpa kesedihan. Maka seakan-akan
aku mendengarnya mengatakan, ‘Wahai Rabb, wahai Rabb,’ dengan penuh permohonan
kepada-Nya.” [11]

Abu ‘Utsman an-Nahdi rahimahullaah mengatakan, “Aku pernah bertamu pada Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu selama tujuh hari. Ternyata dia, isterinya, dan
pembantunya membagi malam menjadi tiga. Apabila yang satu telah shalat, lalu
membangunkan yang lain.” [12]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda mengenai diri
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.

"Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah, seandainya ia mau shalat malam.” [13]

Sesudah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, ia tidak
banyak tidur di waktu malam. Sebagian besar malamnya ia pergunakan untuk shalat
dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Terkadang ia melakukannya hingga
menjelang sahur. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada isteri
beliau, Hafshah, “Sesungguhnya saudaramu (Ibnu ‘Umar) seorang yang shalih.” [14]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan, “Aku pernah shalat (malam) di
belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir malam, lalu beliau
mengarahkan diriku sejajar dengannya. Tatkala selesai aku berkata, “Apakah
pantas bagi seseorang jika ia melakukan shalat sejajar denganmu, padahal engkau
adalah utusan Allah.’ Lalu beliau berdo’a kepada Allah agar Dia memberikan
kepadaku tambahan pemahaman dan ilmu.” [15]

Mengenai firman Allah Ta’ala, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.”
Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, “Mereka hanya sebentar tidur di waktu
malam.” Dan mengenai firman-Nya, “Dan di akhir malam mereka memohon ampun.”
[Adz-Dzaariyaat: 17-18] Al-Hasan berkata, “Mereka memanjangkan shalat hingga
waktu sahur, kemudian mereka berdo’a dan merendahkan diri.” [16]

‘Ali bin al-Husain bin Syaqiq rahimahullaah mengatakan, “Tidak pernah kulihat
orang yang lebih pas bacaanya daripada Ibnul Mubarak. Tidak ada yang lebih baik
bacaannya dan lebih banyak shalatnya daripada dia. Dia shalat disepanjang
malam, baik dalam perjalanan (safar) maupun yang lainnya. Dia mentartilkan
bacaan dan memanjangkannya, dia sengaja meninggalkan tidur agar orang lain
tidak mengetahuinya saat ia shalat.” [17]

Yahya bin Ma’in rahimahullaah mengatakan, “Aku belum pernah melihat seorang pun
yang lebih utama daripada Waki’ bin al-Jarrah rahimahullaah, dia tekun
melakukan shalat, menghafalkan banyak hadits, sering shalat malam, dan banyak
berpuasa.” Puteranya, Ibrahim, berkata, “Ayahku shalat malam dan semua penghuni
rumah, sampai pembantu kami, juga ikut shalat.” [18]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”,
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 –
Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April
2007M]
__________
Foote Notes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1163 (203)), dari Shahabat
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1163 (203)), dari
Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3] Hadits hasan: Diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/325), dishahihkannya dan
disepakati adz-Dzahabi, sanadnya dihasankan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib
wat Tarhiib (I/640). Beliau menisbatkan hadits ini kepada ath-Thabrani dalam
al-Ausath, dan Imam al-Haitsami memberi isyarat tetapnya sanad ini dalam
kitabnya Majma’uz Zawaa-id (II/253) dan menisbatkannya kepada ath-Thabrani
dalam al-Ausath. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah
ash-Shahiihah (no. 831) dan beliau menyebutkan tiga jalan periwayatan: dari
‘Ali, Sahl, dan Jabir radhiyallaahu ‘anhum.
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3549), al-Hakim
(I/308), dan al-Baihaqi (II/502), lafazh ini milik al-Hakim, dari Shahabat Abu
Umamah al-Bahili radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/451), at-Tirmidzi (no.
2485), Ibnu Majah (no. 1334, 3251), al-Hakim (III/13), ad-Darimi (I/340), dan
selainnya, dari Shahabat ‘Abdullah bin Salam radhiyallaahu ‘anhu. Lihat
Silsilah ash-Shahiihah (no. 569).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/243), at-Tirmidzi (no.
3235), dan al-Hakim (I/521), dari Shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu
‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (III/99, no. 2582).
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4837) dan Muslim (no.
2820), lafazh ini milik Muslim
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1329), at-Tirmidzi (no.
447), dan al-Hakim (I/310), lafazh ini milik Abu Dawud.
[9]. Muwaththa’ Imam Malik (I/117, no. 5), Tafsiir ath-Thabari (III/840, no.
24461), dan Tafsiir Ibni Katsir (III/189).
[10]. Kitab az-Zuhd (no. 671), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah.
[11]. Hilyatul Auliyaa’ (I/126, no. 261).
[12]. Al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah (IV/209).
[13]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1122, 1157), Muslim (no.
2479), Ahmad (II/146), dan ad-Darimi (II/127).
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2478) dan at-Tirmidzi (no.
3825).
[15]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (III/338).
[16]. Kitab az-Zuhd (no. 1487), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah.
[17]. Kitaab Jarh wat Ta’diil (I/266).
[18]. Shifatush Shafwah (II/723, no. 453).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2010 i love islam - All Rights Reserved.
Designed by Web2feel.com | Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com | Affordable HTML Templates from Herotemplates.com.