• RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter

Kamis, 02 Juni 2011

Toleransi Beragama: Argumen al-Qur'an dan Hadis

“Seorang pakar tafsir Islam klasik, Ibn Jarir al-Thabari mengutip pendapat yang mengatakan bahwa pengungkapan syari’ah dan manhaj pada ayat di atas menunjukkan adanya keragaman agama yang telah dijadikan Tuhan. Dalam kitab Torah, ada syari’at. Dalam Bibel ada syari’at. Dan dalam al-Quran juga ada syari’at. Namun, hanya ada satu al-din (agama) yaitu ketauhidan dan keikhlasan kepada Tuhan. Dalam ungkapan Qatadah: al-din wahid wa al-syari’ah mukhtalifah (Agama itu satu, sementara syari’at adalah beragam).”


Pesan pertama dari teks kitab suci al-Qur’an adalah memperkenalkan Tuhan yang memiliki sifat kasih sayang (al-rahman, al-rahim). Atas nama kasih sayang ini pula, Tuhan menurunkan kitab suci kepada manusia. Tuhan tidak memberi bencana kepada manusia, tanpa terlebih dahulu mengirimkan beberapa “wakil”- Nya yang dalam bahasa agama disebut sebagai rasul, juga bagian dari kasih sayang itu.

Salah satu “wakil” Tuhan itu adalah Muhammad. Ia diutus untuk menjadi “wakil” kasih sayang Tuhan. Oleh karena itu, keberadaannya adalah rahmat bagi semesta alam. Ini yang menjadi visi utama daripada kerasulan Muhammad. Kerahmatan Islam terletak pada “sekujur tubuh” ajaran Islam, bukan hanya yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan antara sesama hamba Tuhan. Hubungan antara hamba ini juga mencakup hubungan seagama dan hubungan lintas agama. Tuhan telah menjadikan keragaman agama di muka bumi ini, dan menjadikannya sebagai bagian dari ketetapan-Nya. Dengan terang dan jelas, Tuhan berfirman: untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan syari’ah dan manhaj (Q.S. 05:48).

Seorang pakar tafsir Islam klasik, Ibn Jarir al-Thabari mengutip pendapat yang mengatakan bahwa pengungkapan syari’ah dan manhaj pada ayat di atas menunjukkan adanya keragaman agama yang telah dijadikan Tuhan. Dalam kitab Torah, ada syari’at. Dalam Bibel ada syari’at. Dan dalam al-Quran juga ada syari’at. Namun, hanya ada satu al-din (agama) yaitu ketauhidan dan keikhlasan kepada Tuhan. Dalam ungkapan Qatadah: al-din wahid wa al-syari’ah mukhtalifah (Agama itu satu, sementara syari’at adalah beragam).


Ironinya, ada saja orang yang menjadikan beberapa ayat Tuhan sebagai biang keladi permusuhan yang dilakukannya karena keragaman agama itu. Ayat yang populer dan sering dikutip untuk motif demikian itu adalah: orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka (Q.S. 2:120). Al-Baghawi dalam tafsirnya mengutip statemen Ibn ‘Abbas yang mengatakan bahwa ayat di atas diturunkan adalah “murni” karena kasus ritual (baca: pemalingan arah kiblat), bukan dalam segala aspek kehidupan seperti yang “disangkakan” orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan tersebut.

Agama Islam telah sejak lama memberikan kesadaran bagi pemeluknya untuk bersikap toleran terhadap agama lain. Kesadaran ini didasarkan pada pondasi yang kokoh untuk membangun kesadaran toleransi beragama via mencari titik temu agama-agama dan kebebasan beragama.


Titik Temu Agama-Agama
Titik temu (kalimah sawa’) di antara penganut agama yang berbeda-beda itu adalah tauhid, yaitu kesadaran akan keesaan Tuhan. Ketauhidan merupakan dasar semua agama yang bersumber dari Tuhan. Melalui dasar ini, banyaklah bermunculan berbagai bentuk agama, seperti Yahudi, Kristen dan Islam (Ahl al-Kitab). Tuhan berfirman: Katakanlah, wahai Ahl al-Kitab, marilah kepada satu “titik temu” yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak akan kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah (Q.S. 3:64).

Dalam perjalanan sejarah, di antara penganut agama-agama tersebut ada yang tergelincir kepada “jurang kemusyrikan” (baca: kezaliman). Ini tidak hanya berlaku bagi agama Yahudi atau Krisren saja, akan tetapi juga berlaku kepada umat-umat beragama Islam dan lain sebagainya. Berkaitan dengan adanya penganut agama Islam yang tergelincir berbuat “syirik”, bisa kita baca dari firman Tuhan: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman………(Q.S. 6:82). Sedangkan “kemusyrikan” yang dilakukan oleh penganut agama lain juga dikisahkan dalam Alquran, yaitu: Sesungguhnya telah kufurlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam”, padahal al-Masih berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” (Q.S. 5:72). Lembaran “hitam” sejarah penganut agama-agama yang tergelincir kepada “kemusyrikan” yang kasuistik ini, seyogyanya tidaklah digeneralisasi sebagai hujjah yang menghalangi untuk “menggalang titik singgung” karena perbedaan di antara agama-agama yang ada.


Kebebasan dalam Beragama
Apabila cara pandang seperti yang dikemukakan di atas telah ditanamkan secara kokoh dalam jiwa setiap penganut agama yang berbeda, maka akan termanifestasi dalam kehidupan sosial umat beragama, yaitu terhindarnya upaya-upaya pemaksaan untuk masuk kepada agama tertentu.

Berkaitan dengan kebebasan beragama ini, Tuhan pernah berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Q.S. 2:256). Menurut kitab Sunan Abi Dawud, ayat di atas diturunkan berkenaan dengan sikap seorang perempuan memaksa anaknya untuk masuk Islam. Namun hal itu segera direspon oleh Muhammad agar tidak memaksa siapapun untuk masuk ke dalam Islam.

Karena pentingnya upaya untuk tidak memaksakan suatu kepercayaan atau agama kepada orang lain, al-Quran menegaskan lagi agar Muhammad sendiripun tidak terlibat dalam tindakan pemaksaan itu: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka beriman semuanya ? (Q.S.10: 99).

Berawal dari teks-teks suci inilah, konsep kebebasan beragama dalam kaitannya dengan toleransi beragama harus dibangun. Dengan demikian, toleransi beragama yang akan digalang menjadi kuat dan kokoh dalam kesadaran, dan nyata dalam fenomena sosial.

Kedua poin ini adalah “testimoni kerahmatan” yang menjadi misi kerasulan Muhammad dalam mendakwahkan ajaran Islam, terutama berkaitan dengan toleransi beragama. Sekiranya hal ini dilakukan oleh umat Islam sendiri, berarti mereka telah merefleksikan sifat rahman-rahim Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2010 i love islam - All Rights Reserved.
Designed by Web2feel.com | Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com | Affordable HTML Templates from Herotemplates.com.