“Pendirian negara Islam, akan terbentur persoalan sosiologis. Sesuatu yang belum menjadi nilai dalam masyarakat akan sangat sulit menjadi hukum di dalam masyarakat. Apabila dipaksakan untuk diundangkan dan diberlakukan di dalam masyarakat, maka akan menjadi deadlock.”
Semarang - Gelombang teknologi informasi telah menggejala di mana-mana. Begitu pula jaringan sosial banyak sekali ditemukan. Tak pelak, globalisasi ini mampu membawa dampak luas pada tatanan kehidupan sosial kemanusiaan, dari wilayah yang profan (ekonomi, industri, politik) sampai wilayah paling suci (religiusitas) sehingga mengharuskan umat beragama benar-benar memikirkan kembali bagaimana ia beragama dalam dunia yang berubah. Tepatnya, dunia yang telah menjadi “desa universal” (global village).
Pandangan tersebut disampaikan Intelektual Muda Muhammadiyah, Zuly Qodir, Jum’at (27/05/2011) pagi, saat berbicara dalam diskusi bertema “Membedah Ideologi Negara Islam Indonesia (NII)” yang diselenggarakan Pusat Kajian Politik dan Hak Asasi Manusia (PUSKAPOLHAM) bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang.
Selain Zuly, hadir juga pembicara lain, Abdul Moqsith Ghazali selaku Kordinator JIL dan Abu Hapsin, Pengajar Fakultas Syari’ah IAIN Semarang, serta kurang lebih 120 peserta dari berbagai kalangan. Diskusi yang dihelat di ruang sidang Fakultas Syari’ah ini mampu menarik animo mahasiswa IAIN Walisongo yang ingin mengetahui perkembangan gerakan NII terutama di Jawa Tengah.
Zuly Qodir mengatakan, problem materialisme dan kekeringan spiritualisme menjadi masalah yang sangat keras tatkala globalisasi terus mengendus. Agama benar-benar hanya akan menjadi berhala dan membisu tatkala tidak sanggup dihadirkan untuk menjawab persoalan-persoalan serius dunia pasca-modern. Globalisme merupakan perkembangan dunia menuju pasca modernisme.
Globalisme merupakan perubahan yang terus bergerak dan dapat menyergap seluruh aspek kehidupan tanpa kompromi. Akan banyak pihak (umat beragama) yang teralienasi tatkala tidak sanggup menyiasati era globalisme yang demikian masif. Kita sebagai umat beragama, kata Zuly, tidak boleh lengah dengan perubahan zaman yang terus merangsek pada seluruh kehidupan umat, sebab perubahan tersebut merupakan kontinuitas dari masa-masa sebelumnya.
Implikasi serius lainnya dengan terjadinya perubahan yang hebat akibat globalisasi adalah munculnya semangat fundamentalisme yang cenderung tertutup, sehingga agama di hadirkan sebagai entitas yang bertabrakan dengan sistem sosial yang tengah tumbuh. Semangat fundamentalisme menjadi bagian dari kehidupan agama-agama yang tidak jarang menyebabkan terjadinya bibit konflik atar umat beragama. Fundamentalisme dalam maknanya untuk kembali melakukan kritik secara fundamental atas keimanan yang selama ini dianut sebenarnya tidak masalah, tetapi fundamentalisme yang menyebabkan sikap tertutup dan menganggap hanya kelompoknya sendiri yang benar, tidak ada komunikasi, dialog dan menaruh curiga pada orang lain adalah jenis fundamentalisme yang akan merugikan agama itu sendiri. Dan jenis fundamentalisme semacam ini akan muncul tatkala perubahan sosial kian gencar menghantam agama-agama.
Menurut staf pengajar di Universitas Muhamadiyyah Yogyakarta (UMY) itu, kelompok-kelompok Islam fundamental muncul salah satunya karena mereka beranggapan kalau Islam di Indonesia secara sosiologi politik agak kurang di perhatikan. Selain alasan itu, gerakan radikal menilai demokrasi sudah keluar dari Islam dan solusinya adalah formalisasi syariat islam.
Dalam perkembangannya, kata Zuly, Negara Islam Indonesia bereproduksi dengan beberapa doktrin. Salah satunya karena adanya doktrin “hijrah”, yang mengarahkan pemahaman bahwa dasar Negara Indonesia Pancasila bukanlah ideologi, tetapi sekedar dasar negara yang dapat dirobah menjadi dasar dan ideologi lain yakni dasar Islam. Bagi kelompok tersebut, Islam bukan hanya agama, melainkan juga seperangkat peraturan.
Pembicara kedua, Abu Hapsin sedikit pesimis jika NII ini bisa diberantas sampai akar-akarnya, karena ini sudah masuk dalam wilayah politisasi agama. “Oleh karena itu saya bertanya-tanya apakah ini merupakan gerakan yang didalangi oleh pihak-pihak tertentu, atau ini benar-benar cerminan kebutuhan masyarakat, atau justru isu ini adalah sebagian cerminan masyarakat yang “ditunggangi” kepentingan-kepentingan tertentu” tanyanya. Karena menurut Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah itu, agama adalah sarana yang sangat empuk untuk menjadi “tunggangan”, karena agama menempati ranah terdalam di dalam hati manusia.
Menanggapi maraknya kembali gerakan NII, Abu Hapsin berbicara tentang pentingnya Pancasila. Abu berpandangan jika Pancasila merupakan nation ethic, cerminan dari seluruh bangsa yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu sudah sangat cocok bagi bangsa Indonesia. Karena itu, di negara Pancasila, negara tidak berhak mengurusi persoalan pribadi. “Masa orang tidak sholat dihukum? Ini kan soal yang sangat pribadi,” ujarnya.
Selain itu, pendirian negara Islam, menurut Abu akan menghadapkan kita pada persoalan sosiologis. Bagi Abu, sesuatu yang belum menjadi nilai dalam masayarakat akan sangat sulit menjadi hukum di dalam masyarakat. Apabila dipaksakan diundangkan dan diberlakukan di dalam masyarakat maka akan menjadi deadlock.
Makanya, menurut dia yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai Islam menjadi tradisi di dalam masyarakat. Abu menambahkan, hukum itu harus merupakan representasi dari nilai-nilai yang sudah diakui secara sosial. ”Penelitian (disertasi, red) saya menunjukkan rakyat Indonesia tidak menginginkan hukum Islam secara formal,” terangnya. ”Ini menunjukkan bahwa secara sosiologis hal ini sulit diterima,” tambahnya dengan nada yakin.
Di akhir paparannya, Abu Hapsin mengatkan bahwa kita sebenarnya memerlukan Dârussalâm, bukan Dârul Islâm. ”Karena Perjanjian Madinah (mîtsâq madînah) bukan mengharapkan munculnya Dârul Islâm melainkan Dârussalâm,” jelas Abu.
Sementara pembicara ketiga Abdul Moqsith Ghazali menambahkan kalau isu NII menjadi sangat besar resonansinya. “NII ini memang menjadi salah satu tema yang paling seksi,” kata Moqsith dalam paparannya. Sebab, lanjut dia, secara politik bisa saja isu NII itu sengaja dikeluarkan oleh kelompok-kelompok anti SBY. Bahkan, salah satu upaya orang-orang anti SBY ini adalah dengan paket bom buku yang terjadi beberapa waktu lalu. “Padahal mereka itu sebetulnya ingin menunjukkan kegagalan SBY dan juga ingin melihat SBY itu agar bisa digulingkan,” ujar Moqsith Ghazali. Namun, Moqsith mengakui, bahwa isu seperti ini membutuhkan energi yang besar untuk memverifikasinya.
Di luar asumsi itu, fakta sejarah menunjukan memang ada orang-orang yang secara “tulus” ingin mendirikan Negara Islam seperti Kartosoewirjo di Jawa Barat dan Daud Beureuh di Aceh. Namun, kritik Moqsith, NII tidak mempunyai panduan buku besar sebagaimana karya Sayyid Quthb atau Abul A’la al-Ma’dudi.
Dalam pandangan Moqsith, pelan tapi pasti sebenarnya kita ini sedang menghadapi upaya “pengislaman” di berbagai daerah dengan adanya perda-perda syari’at yang mulai muncul di berbagai daerah.
Di akhir pembicaraan, Ubbadul Adzkiya’ selaku moderator seminar tersebut menuturkan, memang pengalaman religius tampaknya tidak semurni yang diperkirakan orang. Aneka ragam gejala dapat dikumpulkan di bawah judul religi. “Pengalaman religius bisa bercampur dengan unsur-unsur yang asing dari keagamaan. Dalam sejarah tampak begitu banyak religi-religi ditandai dengan cela dari yang tidak suci lagi. Pengalaman religius bisa bercampur dengan yang kosmis. Kekuatan yang vital dalam kosmos dijadikan yang ilahi, bukan lagi simbol yang ilahi,” tuturnya. Di sinilah agama menjadi pemujaan berhala.
0 komentar:
Posting Komentar